PT. Radio Mitra Kawanua
Gedung Graha Jasa Group
Jl. Toar 59/61 - Manado | Kode Pos : 95112
Marketing : 0853 9888 2049 Peter (WA)
email : radio.mitrakawanua@yahoo.co.id


Kamis, 13 Oktober 2016

Wapres Khawatirkan Kastanisasi Sekolah di Indonesia

JAKARTA – Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai, masih ada kesenjangan yang tinggi dalam sistem pembiayaan pendidikan di Indonesia.
Ia khawatir, jika perbedaan itu terus terjadi justru menimbulkan sistem kastanisasi.

“Kalau kita tidak hati-hati bisa jadi dua kasta, pendidikan negeri dan kasta pendidikan premium yang bayar mahal,” kata Kalla saat membuka Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) di Jakarta, Rabu (12/10/2016) malam.
Ia menyebutkan, di kota besar seperti Jakarta, misalnya, ada sekolah yang mewajibkan orang tua murid untuk membayar uang muka hingga ratusan juta.
Padahal, uang sebesar itu bisa digunakan untuk membangun sekolah di daerah. “Ada di sini uang mukanya Rp 300 juta, Rp 500 juta,” kata dia.
Untuk itu, Kalla mendorong, para orangtua siswa turut membantu meningkatkan mutu sekolah.
Misalnya, orangtua siswa sekolah neger yang memiliki kemampuan ekonomi lebih, dapat menyumbang uang muka lebih besar.
Lebih jauh, Kalla berharap agar universitas lebih membuka mata terhadap perkembangan pendidikan.
Melakukan pertukaran atau merekrut tenaga pengajar asing bukanlah hal tabu untuk direalisasikan demi menghadapi era globalisasi.
“Bukan berarti dosen kita tidak mampu, tapi perlu penyesuaian diri. Di samping mengirim anak-anak kita ke luar negeri,” kata mantan Ketua Umum Partai Golkar itu.
Selain itu, Kalla juga menyoroti masih adanya sistem sukuisme di universitas-universitas di daerah.
Misalnya, mereka tidak bersedia menerima sesorang sebagai rektor apabila bukan berasal dari universitas itu sendriri.
“Unhas rektornya bukan orang Unhas tidak jadi, Hauluelo kalau bukan orang kendari tidak boleh, Unpad mesti orang sunda-lah rektornya. Yang benar-benar terbuka, Udayana mesti orang Bali. Akhirnya jadi lingkungan yang terbatas,” kata dia.
“Ada beberapa universitas besar di luar negeri justru rektornya tidak boleh alumni perguruan tinggi itu. Itu agar terjadi sinergi yang besar. Jadi ilmu demikian terbuka,” tandasnya.

(Kompas.com)

0 komentar:

Posting Komentar

Thanks