Popularitas agama Kristen telah meledak di Iran dalam beberapa tahun
terakhir, meskipun kemurtadan, atau keluar dari agama Islam, mendapat
hukuman mati.
Di sebuah ruangan resepsi dalam sebuah pusat perbelanjaan di Kelapa
Gading, Jakarta Utara, sekelompok jemaat berkumpul untuk beribadah. Tema
khotbah: "Cintai Tuhanmu dan cintai tetanggamu." Pengkhotbah: pengungsi
Protestan penginjil yang melarikan diri dari Iran enam tahun lalu untuk
menghindari hukuman dari negara.
|
Jemaat bersiap melakukan ibadah di sebuah gereja di Jakarta |
Selamat datang ke Persian Refugee Service, gereja Kristen penginjil
yang dikelola dan ditujukan sebagian besar untuk pengungsi Iran di
Jakarta.
Mohamed Rasool Bagherian, sang pengkhotbah, meninggalkan Iran bersama
keluarganya karena mereka Kristen. Namun sejumlah jemaat justru masuk
Kristen dalam penantian mereka selama bertahun-tahun di Indonesia
sebelum ditempatkan di negara ketiga, ketika para pengungsi dan pencari
suaka tidak diizinkan untuk bekerja atau bersekolah. Beberapa jemaat
reguler bahkan bukan beragama Kristen, mereka pengungsi yang menikmati
kehadiran sesama orang Iran dan hidangan enak.
Popularitas agama Kristen di Iran telah meledak dalam beberapa tahun
terakhir, meskipun kemurtadan, atau meninggalkan agama Islam, merupakan
kesalahan yang mendapat hukuman mati dalam negara agama itu. Selain
etnis Armenia dan Assyria yang beragama Kristen, yang telah tinggal di
Iran selama berabad-abad, semakin banyak Muslim Syiah yang beralih ke
Kristen penginjil.
Kelompok-kelompok pemantau memperkirakan ada antara 300.000 dan 500.000
orang Kristen di Iran, dari jumlah penduduk yang mencapai 75 juta.
Kristen penginjil menyebarkan agama mereka di "gereja-gereja rumahan"
yang privat, karena para penceramah bisa ditangkap.
Bagherian dan istrinya pindah agama Kristen tahun 2005. Meskipun tidak
didorong, tapi menjadi Kristen tidak berbahaya di Teheran, tempat mereka
tinggal saat itu, ujarnya. Ia sendiri mengelola gereja rumahan selama
beberapa tahun.
"Namun kemudian [mantan presiden Mahmoud] Ahmedinajad mulai
meningkatkan tekanan terhadap kelompok Kristen, tak lama setelah ia
terpilih. Saya ditangkap dua kali, tahun 2007 dan 2010, dan setelah itu,
kami pada dasarnya dipaksa untuk meninggalkan negara," katanya kepada
VOA. "Kami punya anak kecil dan kami takut nyawanya terancam."
Putra mereka, Ahura, kini berusia delapan tahun dan hanya mengetahui Indonesia.
Gereja Komunitas
Meskipun Jakarta mungkin bukan lingkungan alami keluarga tersebut,
hal itu tidak terlihat dalam gereja mereka. Bagherian adalah pengkhotbah
yang kharismatik yang berbicara dengan bahasa campuran Bahasa Farsi dan
Inggris, dan menyampaikan ceramah sepanjang 90 menit dengan PowerPoint.
Ia berbicara dari altar yang dihiasi hiasan bunga plastik berwarna ungu
dan lilin listrik.
Kebaktian diawali dengan segmen musik yang panjang dimana setiap
orang bernyanyi lagu-lagu rohani bernuansa rock dalam Bahasa Inggris dan
Farsi.
Persian Refugee Service mendapatkan ruang pertemuan itu dari Abbalove
Ministries, gereja komunitas China Indonesia beranggotakan 2.000 orang,
yang beribadah di bangsal di dekatnya, juga pada Minggu sore. Abbalove
juga menyediakan makan siang kotakan dan layanan lain untuk jemaat kecil
tersebut.
"Para anggota Abbalove adalah berkah besar," ujar Bagherian. "Mereka
bahkan menolong keluarga saya menyewa rumah kecil di Kelap Gading sambil
kami menunggu perkembangan mengenai status pengungsi kami."
Keluarga Bagherian dulu beribadah di sebuah gereja Anglikan di
Jakarta, namun tiga tahun lalu, pastor mereka yang orang Australia, Jeff
Hammond, menyarankan mereka memulai kebaktian sendiri berbahasa Farsi
untuk komunitas pengungsi yang jumlahnya lumaya.
"Putri saya dan saya menemukan komunitas ini ketika kami datang ke
Jakarta dan saranya seperti melihat cahaya," ujar seorang perempuan Iran
separuh baya yang dibaptis tahun lalu di Jakarta.
"Anda tidak paham betapa buruknya hukum syariah untuk kami. Terutama
bagaimana hal itu menindas perempuan. Saya tidak pernah meliht ke
belakang setelah pindah agama."
Sulit Dimukimkan Kembali
Tidak seperti para pengungsi Afghanistan, yang mencakup hampir
setengah dari semua pengungsi dan pencari suaka di Indonesia, para
pengungsi Iran hanya mencakup 3 persen, dan mereka cenderung
berpendidikan dan profesional kerah putih yang tertekan di bawah
teokrasi negara asal mereka.
Hal itu membuat mereka sulit untuk bahkan mendapat kartu pengungsi
dari badan PBB untuk pengungsi, UNHCR, apalagi naik dalam daftar tunggu.
Sementara para pengungsi Hazara Afghanistan memiliki klaim yang dikenal
luas karena penyiksaan maut, Iran memiliki pemerintahan yang stabil,
meski otoriter.
Hal itu membuat pengungsi Iran ada di prioritas bawah untuk pemukiman
kembali. Bahkan, setiap tahun, sejumlah kecil pengungsi Iran, karena
frustrasi dengan penolakan klaim pengungsi atau pencari suaka mereka,
memilih opti "repatriasi sukarela", dimana mereka menyerahkan diri
mereka ke Organisasi Migrasi Internasional (IOM), yang memesan tiket
pesawat gratis untuk kembali ke Iran.
Hampir semua pengungsi pada kebaktian Minggu di Jakarta mengungkapkan
keputusasaan mereka dengan larangan imigrasi Presiden AS Donald Trump,
yang mencakup Iran, dan pengangguhannya atas pemukiman pengungsi, yang
akan menghapus Amerika Serikat sebagai tujuan potensial akhir untuk
perjalanan mereka.
Tetap saja, bagi setiap pengungsi yang menghadiri kebaktian, bukan keputusan yang mudah untuk kembali ke rumah.
"Saya ditangkap karena bermain musik," ujar Reza, seorang pria muda yang
sekarang bermain kibor pada kebaktian Minggu. "Bisa Anda bayangkan?
Musik itu haram di negara saya. Saya dipenjara karenanya. Saya harus
pergi."
Abbalove bukan satu-satunya institusi sosial yang melayani pengungsi
Iran. Jakarta International Christian Fellowship juga menyertakan
beberapa pengungsi, dan memiliki kebaktian khusus berbahasa Farsi. Dua
belas anak-anak Iran bersekolah di Roshan Learning Center, sekolah untuk
para pengungsi dan pencari suaka di Jakarta Selatan, dan dua orang
dewasa muda menjadi guru di sana.
Bahkan jika Indonesia hanya sebuah titik transit, banyak orang Iran yang merasa mereka sangat lega ada di sini.
"Di sini juga negara Islam, tapi demokratis," ujar Arash Ehteshamfar,
yang meninggalkan Iran tahun 2011 untuk menghindari hukuman. "Seperti
siang dan malam. Dan tentu saja, kami punya gereja ini... ini rumah kami
di negara ini."
(
VOAIndonesia)