JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan, capaian program tax amnesty menggambarkan besarnya volume dari aktivitas ekonomi dan nilai-nilai aset yang selama ini tidak laporkan kepada negara.
Harta-harta tersebut merupakan potensi pajak yang selama ini tidak
seluruhnya mampu disentuh oleh otoritas pajak nasional yakni Direktorat
Jenderal (Ditjen) Pajak.
Berdasarkan data Ditjen Pajak yang dikutip Kompas.com pukul
10.00 WIB hari ini, total harta tax amnesty yang dilaporkan mencapai Rp
3.620 triliun dengan Rp 2.352 triliun di antaranya merupakan harta yang
berasal dari dalam negeri.
Pertanyaan, kok bisa ribuan triliunan tidak tersentuh?
Sri Mulyani mengakui adanya keterbatasan sumberdaya untuk menyentuh
potensi pajak yang sangat besar di dalam negeri yang selama ini menjadi
ekonomi bawah tanah atau ekonomi yang tidak tercatat.
"Ditjen Pajak memiliki staf yang terbatas dan anggaran yang
terbatas. Oleh karena itu (kami) harus menggunakan sumberdaya itu secara
strategis untuk menggali potensi (penerimaan pajak)," ujar Menkeu di
Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jumat (30/9/2016) malam.
Saat ini, total pegawai pajak di Direktorat Jenderal Pajak sekitar
35.000 orang. Dari jumlah itu, pegawai pemeriksa pajak hanya berjumlah
4.500 orang. Jumlah itu sangat timpang bila dibandingkan jumlah 25 juta
wajib pajak yang miliki NPWP.
Adapun untuk anggaran, Ditjen Pajak mendapatkan pengalokasian dana Rp
7,46 triliun pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan
(APBN-P) 2016.
Namun, pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC),
Darussalam menilai ada masalah serius dari ketidakmampuan otoritas pajak
menyentuh potensi objek pajak. Masalah yang dimaksud yakni kelengkapan
dan keakuratan data.
Indonesia memang menganut self assessment system yang berarti wajib
pajak diberi kepercayaan untuk mengungkapkan sendiri harta-hartanya
dalam SPT sesuai dengan aturan yang ada.
Namun Ditjen Pajak memiliki kewenangan untuk menguji apakah wajib
pajak telah melaksanakan kewajiban pajaknya dengan benar atau tidak,
termasuk kewajiban pengungkapan harta.
"Akan tetapi Ditjen Pajak harus punya data yang lengkap untuk dapat
melaksanakan kewenangannya dalam menguji kewajiban perpajakan itu," kata
dia.
Sementara itu Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA ) Yustinus Prastowo mengungkapkan besarnya harta deklarasi tax amnesty di dalam negeri menunjukkan rapuhnya sistem perpajakan nasional.
Ia menyarankan pemerintah untuk memanfaatkan momentum tax amnesty untuk reformasi perpajakan, termasuk memperbaiki data wajib pajak dan mentransformasi kelembagaan di Ditjen Pajak.
Transformasi itu meliputi peningkatan akuntabilitas pengelolaan
pajak, kompetensi SDM, dan integritas para petugas pajak. "Administrasi
yg harus lebih simpel, mudah dan murah. Lalu pelaksanaan aturan yang
berkepastian, termasuk memberikan hak atau fasilitas kepada wajib
pajak," kata Yustinus.
Dalam 3 bulan pertama program tax amnesty, Ditjen Pajak sudah
mendekatkan banyak data termasuk wajib pajak baru yang selama ini tidak
memiliki NPWP. Basis data pajak yang baru setelah program tax amnesty
akan dipergunakan untuk mengidentifikasi potensi pajak.
Dengan begitu, pemerintah yakin proyeksi penerimaan pajak akan
berlandaskan basis data yang solid dan kredibel pada tahun-tahun ke
depan.
(Kompas.com)
0 komentar:
Posting Komentar
Thanks