PT. Radio Mitra Kawanua
Gedung Graha Jasa Group
Jl. Toar 59/61 - Manado | Kode Pos : 95112
Marketing : 0853 9888 2049 Peter (WA)
email : radio.mitrakawanua@yahoo.co.id


  • Radio Talk

    BPJS Ketenagakerjaan Manado | Disnaker Sulut | KSBSI Sulut

  • mitraONtheMOVE_Edisi OFFAIR

    Live dari Mega Trade Center with Suzuki Galesong Prima...

  • mitraFAMILY

    Growth in Character

  • Liputan RMK 91FM

    Gerakan Nasional "Save Our Littoral Life" di Pantai Malalayang

  • Gedung Radio Mitra Kawanua

    Radio Mitra Kawanua

  • Radio Talk

    BNN Kota Manado

  • Radio Talk

    BAPEDA Kota Manado

  • mitraFAMILY_Edisi OFFAIR

    Live dari Siloam Hospital Manado

  • mitraONtheMOVE

    Live dari Lion Hotel dan Plaza

  • Radio Talk

    Walikota Manado

  • MitraFAMILY

    Siloam Hospital Manado

  • Kru Mitra Kawanua FM bersama Narasumber

    Radio Mitra Kawanua

  • Kru Mitra Kawanua FM

    Radio Mitra Kawanua

Jumat, 17 Februari 2017

Gereja Para Pengungsi Iran di Jakarta

Popularitas agama Kristen telah meledak di Iran dalam beberapa tahun terakhir, meskipun kemurtadan, atau keluar dari agama Islam, mendapat hukuman mati.



Di sebuah ruangan resepsi dalam sebuah pusat perbelanjaan di Kelapa Gading, Jakarta Utara, sekelompok jemaat berkumpul untuk beribadah. Tema khotbah: "Cintai Tuhanmu dan cintai tetanggamu." Pengkhotbah: pengungsi Protestan penginjil yang melarikan diri dari Iran enam tahun lalu untuk menghindari hukuman dari negara.
Jemaat bersiap melakukan ibadah di sebuah gereja di Jakarta

Selamat datang ke Persian Refugee Service, gereja Kristen penginjil yang dikelola dan ditujukan sebagian besar untuk pengungsi Iran di Jakarta.

Mohamed Rasool Bagherian, sang pengkhotbah, meninggalkan Iran bersama keluarganya karena mereka Kristen. Namun sejumlah jemaat justru masuk Kristen dalam penantian mereka selama bertahun-tahun di Indonesia sebelum ditempatkan di negara ketiga, ketika para pengungsi dan pencari suaka tidak diizinkan untuk bekerja atau bersekolah. Beberapa jemaat reguler bahkan bukan beragama Kristen, mereka pengungsi yang menikmati kehadiran sesama orang Iran dan hidangan enak.
Popularitas agama Kristen di Iran telah meledak dalam beberapa tahun terakhir, meskipun kemurtadan, atau meninggalkan agama Islam, merupakan kesalahan yang mendapat hukuman mati dalam negara agama itu. Selain etnis Armenia dan Assyria yang beragama Kristen, yang telah tinggal di Iran selama berabad-abad, semakin banyak Muslim Syiah yang beralih ke Kristen penginjil.

Kelompok-kelompok pemantau memperkirakan ada antara 300.000 dan 500.000 orang Kristen di Iran, dari jumlah penduduk yang mencapai 75 juta. Kristen penginjil menyebarkan agama mereka di "gereja-gereja rumahan" yang privat, karena para penceramah bisa ditangkap.

Bagherian dan istrinya pindah agama Kristen tahun 2005. Meskipun tidak didorong, tapi menjadi Kristen tidak berbahaya di Teheran, tempat mereka tinggal saat itu, ujarnya. Ia sendiri mengelola gereja rumahan selama beberapa tahun.
"Namun kemudian [mantan presiden Mahmoud] Ahmedinajad mulai meningkatkan tekanan terhadap kelompok Kristen, tak lama setelah ia terpilih. Saya ditangkap dua kali, tahun 2007 dan 2010, dan setelah itu, kami pada dasarnya dipaksa untuk meninggalkan negara," katanya kepada VOA. "Kami punya anak kecil dan kami takut nyawanya terancam."
Putra mereka, Ahura, kini berusia delapan tahun dan hanya mengetahui Indonesia.

Gereja Komunitas
Meskipun Jakarta mungkin bukan lingkungan alami keluarga tersebut, hal itu tidak terlihat dalam gereja mereka. Bagherian adalah pengkhotbah yang kharismatik yang berbicara dengan bahasa campuran Bahasa Farsi dan Inggris, dan menyampaikan ceramah sepanjang 90 menit dengan PowerPoint. Ia berbicara dari altar yang dihiasi hiasan bunga plastik berwarna ungu dan lilin listrik.
Kebaktian diawali dengan segmen musik yang panjang dimana setiap orang bernyanyi lagu-lagu rohani bernuansa rock dalam Bahasa Inggris dan Farsi.

Persian Refugee Service mendapatkan ruang pertemuan itu dari Abbalove Ministries, gereja komunitas China Indonesia beranggotakan 2.000 orang, yang beribadah di bangsal di dekatnya, juga pada Minggu sore. Abbalove juga menyediakan makan siang kotakan dan layanan lain untuk jemaat kecil tersebut.
"Para anggota Abbalove adalah berkah besar," ujar Bagherian. "Mereka bahkan menolong keluarga saya menyewa rumah kecil di Kelap Gading sambil kami menunggu perkembangan mengenai status pengungsi kami."
Keluarga Bagherian dulu beribadah di sebuah gereja Anglikan di Jakarta, namun tiga tahun lalu, pastor mereka yang orang Australia, Jeff Hammond, menyarankan mereka memulai kebaktian sendiri berbahasa Farsi untuk komunitas pengungsi yang jumlahnya lumaya.

"Putri saya dan saya menemukan komunitas ini ketika kami datang ke Jakarta dan saranya seperti melihat cahaya," ujar seorang perempuan Iran separuh baya yang dibaptis tahun lalu di Jakarta.
"Anda tidak paham betapa buruknya hukum syariah untuk kami. Terutama bagaimana hal itu menindas perempuan. Saya tidak pernah meliht ke belakang setelah pindah agama."

Sulit Dimukimkan Kembali
Tidak seperti para pengungsi Afghanistan, yang mencakup hampir setengah dari semua pengungsi dan pencari suaka di Indonesia, para pengungsi Iran hanya mencakup 3 persen, dan mereka cenderung berpendidikan dan profesional kerah putih yang tertekan di bawah teokrasi negara asal mereka.
Hal itu membuat mereka sulit untuk bahkan mendapat kartu pengungsi dari badan PBB untuk pengungsi, UNHCR, apalagi naik dalam daftar tunggu. Sementara para pengungsi Hazara Afghanistan memiliki klaim yang dikenal luas karena penyiksaan maut, Iran memiliki pemerintahan yang stabil, meski otoriter.

Hal itu membuat pengungsi Iran ada di prioritas bawah untuk pemukiman kembali. Bahkan, setiap tahun, sejumlah kecil pengungsi Iran, karena frustrasi dengan penolakan klaim pengungsi atau pencari suaka mereka, memilih opti "repatriasi sukarela", dimana mereka menyerahkan diri mereka ke Organisasi Migrasi Internasional (IOM), yang memesan tiket pesawat gratis untuk kembali ke Iran.
Hampir semua pengungsi pada kebaktian Minggu di Jakarta mengungkapkan keputusasaan mereka dengan larangan imigrasi Presiden AS Donald Trump, yang mencakup Iran, dan pengangguhannya atas pemukiman pengungsi, yang akan menghapus Amerika Serikat sebagai tujuan potensial akhir untuk perjalanan mereka.

Tetap saja, bagi setiap pengungsi yang menghadiri kebaktian, bukan keputusan yang mudah untuk kembali ke rumah.

"Saya ditangkap karena bermain musik," ujar Reza, seorang pria muda yang sekarang bermain kibor pada kebaktian Minggu. "Bisa Anda bayangkan? Musik itu haram di negara saya. Saya dipenjara karenanya. Saya harus pergi."

Abbalove bukan satu-satunya institusi sosial yang melayani pengungsi Iran. Jakarta International Christian Fellowship juga menyertakan beberapa pengungsi, dan memiliki kebaktian khusus berbahasa Farsi. Dua belas anak-anak Iran bersekolah di Roshan Learning Center, sekolah untuk para pengungsi dan pencari suaka di Jakarta Selatan, dan dua orang dewasa muda menjadi guru di sana.
Bahkan jika Indonesia hanya sebuah titik transit, banyak orang Iran yang merasa mereka sangat lega ada di sini.
"Di sini juga negara Islam, tapi demokratis," ujar Arash Ehteshamfar, yang meninggalkan Iran tahun 2011 untuk menghindari hukuman. "Seperti siang dan malam. Dan tentu saja, kami punya gereja ini... ini rumah kami di negara ini."

(VOAIndonesia)

Senin, 13 Februari 2017

Friedrich Silaban, Anak Pendeta yang Merancang Masjid Istiqlal

Arsitek Friedrich Silaban
Hidup Friedrich Silaban terbilang cemerlang dan gemilang.Lahir di Bonandolok, Sumatera Utara, 16 Desember 1912, dia hanya bersekolah di HIS Narumonda, Tapanuli, Sumatera Utara, dan Koningin Wilhelmina School, sebuah sekolah teknik di Jakarta.





Namun, penganut Kristen Protestan dan anak seorang pendeta miskin itu telah melahirkan berbagai bangunan modern pada masanya hingga kini menjadi bangunan bersejarah.
Salah satunya ialah kemegahan sekaligus simbol kerukunan antarumat beragama di Indonesia, Masjid Istiqlal, Jakarta, yang resmi digunakan tepat 38 tahun lalu. 

Pada tahun 1955, Presiden pertama Indonesia Ir Soekarno mengadakan sayembara membuat desain maket Masjid Istiqlal. Sebanyak 22 dari 30 arsitek lolos persyaratan.

Gereja Katedral dengan latar kubah Masjid Istiqlal yang belum selesai dibangun
Bung Karno sebagai Ketua Dewan Juri mengumumkan nama Friedrich Silaban dengan karya berjudul "Ketuhanan" sebagai pemegang sayembara arsitek masjid itu.

Bung Karno menjuluki F Silaban sebagai "By the grace of God" karena memenangi sayembara itu.

Pada 1961, penanaman tiang pancang baru dilakukan. Pembangunan baru selesai 17 tahun kemudian dan resmi digunakan sejak tanggal 22 Februari 1978. Jadi, hari ini merupakan peringatan ke-38 tahun Masjid Istiqlal.

Dikutip dari surat kabar Kompas edisi 21 Februari 1978, enam tahun setelah Masjid Istiqlal selesai dibangun, F Silaban mengatakan, "Arsitektur Istiqlal itu asli, tidak meniru dari mana-mana, tetapi juga tidak tahu dari mana datangnya."

"Patokan saya dalam merancang hanyalah kaidah-kaidah arsitektur yang sesuai dengan iklim Indonesia dan berdasarkan apa yang dikehendaki orang Islam terhadap sebuah masjid," lanjut dia.
Kesederhanaan ide Silaban rupanya berbuah kemegahan. Jadilah masjid yang berdampingan dengan Gereja Katedral itu tampak seperti masa saat ini.

Masjid Istiqlal berdiri di atas lahan seluas 9,5 hektar, diapit dua kanal Kali Ciliwung, kubahnya bergaris tengah 45 meter, dan ditopang 12 pilar raksasa serta 5.138 tiang pancang.
Dindingnya berlapis batu marmer putih. Air mancur besar melambangkan "tauhid" dibangun di barat daya.
Dilengkapi menara setinggi 6.666 sentimeter, sesuai dengan jumlah ayat Al Quran, masjid itu mampu menampung 20.000 umat.
Udara di dalam masjid begitu sejuk walau tanpa dilengkapi pendingin ruangan. Sebab, Silaban membuat dinding sesedikit mungkin supaya angin leluasa masuk. Silaban ingin umat yang sembahyang di masjid itu seintim mungkin dengan Tuhan.
Haji Nadi, haji asli Betawi yang sembahyang di masjid itu, dalam surat kabar Kompas edisi yang sama mengatakan, "Berada di masjid ini saya merasa betapa besarnya umat Islam."

Arsitek Friedrich Silaban (kiri) bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik Ir Sutami, sedang mengamati bangunan Masjid Istiqlal.
Dari Gambir ke penjuru dunia

Dikutip dari buku Rumah Silaban; Saya adalah Arsitek, tapi Bukan Arsitek Biasa, Silaban mulai tertarik dengan dunia arsitektur sejak sekolah di Jakarta.

Sayang, "Perderik", demikian dia dipanggil sang ayah, tak dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas karena persoalan biaya.

Karier Silaban di dunia arsitek diawali saat bersekolah di Jakarta. Dia sangat tertarik pada desain bangunan Pasar Gambir di Koningsplein, Batavia, 1929, buatan arsitek Belanda, JH Antonisse.
Setelah lulus sekolah, Silaban mengunjungi kantor Antonisse. Dia pun dipekerjakan sebagai pegawai di Departemen Umum, di bawah pemerintahan kolonial.
Kariernya terus meningkat hingga akhirnya ia menjabat sebagai Direktur Pekerjaan Umum tahun 1947 hingga 1965. Jabatannya itu membawa Silaban ke penjuru dunia.
Tahun 1949 hingga 1950, Silaban ke Belanda mengikuti kuliah tahun terakhir di Academie voor Bouwkunst atau akademi seni dan bangunan.
Pada saat inilah, Silaban mendalami arsitektur Negeri Kincir Angin itu dengan melihat dan "menyentuhnya" secara langsung.

Tidak hanya Belanda, setidaknya 30 kota besar di penjuru dunia telah dikunjungi Silaban. Tujuannya satu, mempelajari arsitektur di negara-negara tersebut.
Perjalanannya ke penjuru dunia, terutama setelah kunjungannya ke India, menyiratkan satu hal bahwa jiwa sebuah bangsalah yang mendefinisikan arsitektur bangsa tersebut.
Perjalanan Silaban itu memengaruhi keinginannya dalam "manifestasi identitas asli Indonesia; negara yang bebas dan progresif" melalui karya-karyanya di Tanah Air.

Tutup usia
Sang arsitek tutup usia pada hari Senin, 14 Mei 1984, di RSPAD Gatot Subrotot karena mengalami komplikasi.
Selain Istiqlal, peninggalan Silaban hadir di sekitar 700 bangunan penjuru Tanah Air, di antaranya Stadion Gelora Bung Karno (Jakarta/1962), Monumen Pembebasan Irian Barat (Jakarta/1963), Monumen Nasional atau Tugu Monas (Jakarta/1960), Gerbang Taman Makam Pahlawan Kalibata (Jakarta/1953), hingga Tugu Khatulistiwa (Pontianak/1938).

(Kompas.com)

Medali Olimpiade Tokyo Hasil Daur Ulang Ponsel Bekas

Warga telah diminta untuk menyumbangkan ponsel lama mereka untuk mengumpulkan 8 ton logam.

Medali-medali untuk Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo 2020 akan dibuat dari logam-logam yang didapat dari ponsel-ponsel bekas.

Penyelenggara Olimpiade mengatakan mereka sedang meminta publik Jepang untuk menyumbangkan ponsel lama mereka atau peralatan elektronik lainnya dalam upaya mengumpulkan 8 ton logam untuk memproduksi 5.000 medali emas, perak dan perunggu yang akan dibagikan dalam dua acara tersebut.

Mulai April, kotak-kotak khusus untuk sumbangan ponsel akan ditempatkan di kantor-kantor dan toko ponsel.
"Proyek yang memungkinkan rakyat Jepang ambil bagian dalam pembuatan medali adalah sangat baik," ujar direktur olahraga Tokyo, Koji Murofushi, menurut BBC.

"Sumber daya di Bumi kita ini terbatas, jadi mendaur ulang barang-barang ini akan membuat kita berpikir tentang lingkungan."

Langkah itu didukung bekas peraih medali emas Olimpiade dari AS, Ashton Eaton, yang meraih medali emas berturut-turut dalam dekatlon. Ia menulis di Twitter bahwa ia tergoda untuk tidak jadi pensiun dan bertarung mendapatkan salah satu medali itu.

Ini bukan pertama kalinya bahan daur ulang telah digunakan untuk membuat medali-medali Olimpiade. Untuk Olimpiade Rio 2016, medali-medali perak dan perunggu sebagian dibuat dari produk-produk daur ulang.

(VOAIndonesia)